Jumat, 25 Juni 2010
Gerardus Manyella Mangan Makan Korban, Pemda Harus Bertanggung Jawab
POS KUPANG/THOMAS DURAN
Tiga korban yang tewas tertimbun mangan di Kiumabun, Desa Oebola Dalam, Kecamatan Fatuleu disemayamkan bersama di rumah duka sebelum dikuburkan. Ketiga korban itu dibaringkan di atas satu tempat tidur, Rabu (7/10/2009).
Jumat, 25 Juni 2010 | 14:48 WIB
KUPANG, POS KUPANG.Com -- Pemerintah daerah di wilayah Timor yang memiliki potensi tambang mangan harus bertanggung jawab terhadap setiap masalah yang timbul akibat eksplorasi dan eksploitasi mangan di wilayahnya. Termasuk, ketika penambangan itu menelan korban jiwa.
Hal ini disampaikan Hubungan Masyarakat (Humas) Persehatian Orang Timor (POT) Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Michael Betty, kepada Pos Kupang, Kamis (24/6/2010). Betty dimintai tanggapan atas tewasnya beberapa warga akibat menambang mangan di daratan Timor. Kasus terakhir menimpa empat warga di Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu.
"Karena mereka sebagai kepala daerah tahu persis potensi mangan di wilayahnya. Bahkan setiap investor atau pengusaha yang datang selalu melalui pemerintah daerah," kata Betty.
Dia menjelaskan, apabila pemerintah menggunakan alibi, yang sering menjadi korban adalah warga yang mencari mangan secara ilegal, maka hal itu sangat tidak beralasan, sebab warga itu mencari mangan atas permintaan dari pengusaha atau investor, selain tuntutan kebutuhan hidup.
"Kalau pemerintah daerah lepas tangan atau tidak bertanggung jawab, berarti pemerintah sendiri tidak pernah menertibkan investor gelap yang masuk ke daerahnya," jelas Betty.
Dia mengatakan, apabila pemerintah daerah mengelak karena warga yang menjadi korban itu menambang secara ilegal pun sangat tidak masuk akal. "Pemerintah seharusnya yang menertibkan broker atau investor gelap agar warga pun berusaha secara legal karena yang masuk di wilayahnya itu legal pula," ujarnya.
Ketua Umum POT NTT, Drs. Jonathan Nubatonis, mengatakan, sampai saat ini banyak sekali tengkulak yang mengaku sebagai pengusaha mangan di Timor. "Mereka itu masuk ke kampung- kampung untuk mencari dan mengumpulkan mangan. Karena ilegal, maka saat jatuh korban, mereka mengelak. Kalau legal, maka semua aturan pekerja (warga) harus ada, seperti kerja pakai sarung tangan, masker dan lainnya," kata Nubatonis.
Dikatakannya, kasus-kasus mangan yang membuat korban tewas dan tidak ada yang bertanggung jawab membuktikan, pengusaha atau investornya ilegal atau gelap.
"Selain kepala daerah, DPRD setiap kabupaten/kota juga harus bertanggung jawab sebagai lembaga kontrol yang selalu memberi pengawasan terhadap pemerintah," ujarnya.
Gubernur NTT, Frans Lebu Raya menegaskan, penambangan mangan di NTT perlu pengaturan yang lebih baik, sehingga mengurangi risiko kematian. Pemerintah Propinsi NTT baru mendapatkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 sebagai peraturan pelaksana pertambangan mineral dan batu bara tersebut.
Lebu Raya mengatakan itu usai menghadiri penandatanganan MoU percepatan MDGs dengan DPD dan UNDP di Hotel Sasando Kupang, Kamis (24/6/2010).
Soal pertambangan rakyat yang sering menelan korban jiwa, kata Lebu Raya, perlu diatur lebih baik sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral. Saat ini pemerintah sedang mempelajari amanat PP itu untuk diimplementasikan dalam pertambangan mangan di NTT.
Gubernur mengharapkan para bupati di daratan Timor meredam gejolak warga yang tergiur dengan rayuan pengusaha mangan lalu melakukan pertambangan rakyat yang membahayakan. Lebu Raya menginginkan mangan ditambang dengan menggunakan teknologi sehingga risiko menelan korban jiwanya menjadi kecil.
Pemda Larang
Wakil Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Drs. Benny A. Litelnoni, S. H, M.Si menegaskan, pemerintah daerah menginstruksikan kepada masyarakat melalui Dinas Pertambangan agar jangan ada penambangan liar terutama penambangan rakyat. Penambangan liar atau penambangan rakyat dapat merusak lingkungan dan keselamatan penambang tidak terjamin.
"Saat ini baru ada delapan investor yang mengantongi izin Kuasa Penambangan (KP), sementara penambangan rakyat belum ada sehingga terjadi kecelakaan akibat penambangan liar atau penambangan rakyat siapa yang bertanggung jawab," kata Litelnoni saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (24/6/2010).
Benny Litelnoni mengatakan, sejauh ini Pemda TTS selalu mengimbau kepada masyarakat agar tidak boleh melakukan penambangan liar, namun tidak diindahkan karena masyarakat diiming-imingi dengan sejumlah uang oleh oknum-oknum tertentu.
"Pemda TTS mengimbau agar masyarakat menunggu sampai ada izin lokasi bagi investor, baru bisa bermitra untuk melakukan penambangan sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Untuk itu, Pemda segera membuat perda tentang mangan dan saat ini drafnya sudah ada dan siap dibahas bersama pihak terkait sebelum ditetapkan oleh DPRD TTS," katanya.
Menurut Litelnoni, saat ini ada delapan investor yang mengantongi izin, namun hanya satu, yakni PT SoE Makmur Resources (SKR) yang melakukan penambangan, sementara tujuh lainnya belum melakukan kegiatan penambangan.
Ketua DPRD TTS, Eldat Nenabu, S. H mengatakan, sejauh ini belum ada koordinasi antara Dinas Pertambangan dan DPRD untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat berkaitan dengan penambangan dan risikonya.
Menurut Nenabu, sebanyak 170 investor telah mengusulkan permohonan izin penambangan mangan melalui Dinas Pertambangan. Nama-nama investor tersebut telah diserahkan kepada DPRD untuk didisposisikan.
Nenabu mengatakan, para investor harus memiliki kantor dan alamat yang jelas agar bisa dihubungi ketika terjadi persoalan di lapangan.
Menurutnya, setelah anggota legislasi DPRD TTS melakukan konsultasi dengan Dirjen Mineral dan Batu Bara dan pihak kementerian, PP dan Permen berkaitan draf standar harga sudah ditentukan dan dikembalikan kepada daerah untuk menuangkan dalam bentuk perda.
"Kewenangan sepenuhnya diserahkan kepada daerah. Yang terpenting pencanangan wilayah tidak masuk dalam kawasan hutan lindung dan ketentuan tentang ganti rugi tanam- tumbuh pada lokasi serta batasan umur masyarakat masuk lokasi tambang, yakni anak-anak dibawa umur dan orangtua di atas 60 tahun dilarang," katanya.
Demikian juga disampaikan Wakil Ketua DPRD TTS, Ampere Seke Selan, S. H. Menurut dia, ketentuan lain, seperti izin khusus penimbunan, harus dilakukan berkaitan dengan Amdal dan kesehatan lingkungan. (yel/gem/mas)
Jangan Hanya Kejar Profit
TEWASNYA penambang mangan di Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu, disebabkan oleh kurangnya sosialisasi mengenai keselamatan kerja dan cara kerja aman oleh pemerintah dan pengusaha mangan sendiri. Karena itu, pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) jangan hanya mengejar profit, tetapi harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Hal ini dikemukakan Ketua DPRD Belu, Simon Guido Seran, ketika ditemui Pos Kupang di ruang kerjanya, Kamis (24/6/2010). Dia menduga selama ini tidak ada sosialisasi kepada warga mengenai keselamatan kerja, termasuk cara menggali mangan yang aman. Selama ini pengusaha pemilik IUP hanya mengejar profit dan mengabaikan keselamatan pekerja.
"Terlepas dari warga menggali legal atau ilegal, yang perlu diperhatikan adalah sosialisasi soal keselamatan kerja. Pengusaha harus menjelaskan kepada masyarakat bagaimana cara menggali mangan yang baik. Lalu berapa dalam tanah digali untuk mendapatkan mangan. Informasi ini sepertinya tidak pernah disampaikan. Akibatnya seperti dialami warga di Kakulukmesak itu," tegas Simon.
Tentang regulasi, Simon menyatakan sependapat. Di dalam tata tertib terbaru saat ini, pasal 24 menyatakan setiap anggota dewan punya hak mengajukan usulan pembentukan regulasi. Usulan itu disampaikan kepada pimpinan kemudian dibawa kepada panitia legislasi untuk dikaji sebagai hak inisiatif lembaga DPRD Belu.
Khusus untuk perda tentang mangan, Simon menyampaikan akan menyesuaikannya dengan usulan dari pemerintah.
"Soal Perda itu kan bisa datang dari pemerintah, juga dari dewan. Kita lihat nanti, apakah pemerintah yang mengajukan untuk kita bahas bersama ataukah kami dari dewan punya inisiatif, akan kita diskusikan lagi. Tapi yang penting sekarang, sosialisasi mengenai keselamatan kerja dulu bagi para pekerja," kata Simon.
Tokoh masyarakat Belu, Gabriel Fernandez, menegaskan, selama ini pemerintah terkesan membiarkan para pengusaha menggali mangan tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Pembiaran seperti ini justru berdampak buruk setelah para pengusaha meninggalkan Belu.
"Jangan karena pengusaha memberikan dana sedikit untuk PAD lantas kita membiarkan lingkungan kita rusak. Sepertinya terjadi pembiaran para pemilik IUP melakukan eksplorasi. Warga yang menggali mangan juga tidak pernah diberikan pengaman. Sekarang memang dampak pada kesehatan belum dirasakan, tapi sepuluh tahun yang akan datang, akan muncul generasi pesakitan sebagai dampak dari penggalian mangan tanpa alat pengaman," tegasnya.
Untuk itu, kata Gabriel, pemerintah dan dewan harus segera membahas peraturan daerah (perda)
yang mengatur soal mangan ini. Sebab, kalau tidak ada payung hukum, pengusaha akan dengan leluasa menguras habis kekayaan alam milik Belu untuk dibawa keluar, sementara generasi kelak hanya sebagai penonton di tanahnya sendiri. (yon)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar